PENGERTIAN
OTONOMI DAERAH
Sesuai Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah(UU Nomor 32 Tahun 2004)
definisi otonomi daerah
sebagai berikut: “Otonomi daerah
adalah hak, wewenang,
dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurussendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai denganperaturan
perundang-
undangan.”
UU Nomor 32 Tahun 2004 juga mendefinisikan
daerah otonom sebagai berikut:
“Daerah otonom,
selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas
wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusanpemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiriberdasarkan aspirasi masyarakat
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
DASAR
HUKUM OTONOMI DAERAH
Otonomi Daerah berpijak
pada dasar Perundang-undangan yang kuat, yakni :
Undang
Undang Dasar
Sebagaimana telah
disebut di atas Undang-undang Dasar 1945 merupakanlandasan yang kuat untuk
menyelenggarakan Otonomi Daerah. Pasal 18 UUDmenyebutkan adanya pembagian
pengelolaan pemerintahan pusat dan daerah.Pemberlakuan sistem otonomi daerah
merupakan amanat yang diberikan oleh UndangUndang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Amandemen Keduatahun 2000 untuk dilaksanakan
berdasarkan undang-undang yang dibentuk khusus untuk mengatur pemerintahan
daerah. UUD 1945 pasca-amandemen itu mencantumkanpermasalahan pemerintahan
daerah dalam Bab VI, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal18B. Sistem otonomi
daerah sendiri tertulis secara umum dalam Pasal 18 untuk diaturlebih lanjut
oleh undang-undang
Pasal 21
Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah
mempunyai hak :
1.
mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahannya,
2.
memilih pimpinan daerah
3.
mengelola aparatur daerah
4.
mengelola kekayaan daerah
5.
memungut pajak daerah dan retribusi
daerah
6.
mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan
sumber daya alam dan sumber dayalainnya yang berada di daerah
7.
mendapatkan sumber-sumber pendapatan
lain yang sah, dan
8.
mendapatkan hak lainnya yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 22
Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah
mempunyai kewajiban:
1.
melindungi masyarakat, menjaga
persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional,serta keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia
2.
meningkatkan kualitas kehidupan
masyarakat
3.
mengembangkan kehidupan demokrasi
4.
mewujudkan keadilan dan pemerataan
5.
meningkatkan pelayanan dasar pendidikan
6.
menyediakan fasilitas pelayanan
kesehatan
7.
menyediakan fasilitas sosial dan
fasilitas umum yang layak
8.
mengembangkan sistem jaminan sosial
9.
menyusun perencanaan dan tata ruang
daerah
10.
mengembangkan sumber daya produktif di
daerah
11.
melestarikan lingkungan hidup
12.
mengelola administrasi kependudukan
13.
melestarikan nilai sosial budaya
14.
membentuk dan menerapkan peraturan
perundang-undangan sesuai dengankewenangannya, dan
15.
kewajiban lain yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan
DAMPAK
POSITIF DAN NEGATIF OTONOMI DAERAH
Dampak
Positif
Dampak positif otonomi
daerah adalah bahwa dengan otonomi daerah makapemerintah daerah akan
mendapatkan kesempatan untuk menampilkan identitas lokalyang ada di masyarakat.
Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusatmendapatkan respon tinggi
dari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yangberada di daerahnya
sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak daripada yangdidapatkan
melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dana tersebut
memungkinkanpemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta membangun
program promosikebudayaan dan juga pariwisataDengan melakukan otonomi daerah
maka kebijakan-kebijakan pemerintah akanlebih tepat sasaran, hal tersebut
dikarenakan pemerintah daerah cinderung lebih menegetikeadaan dan situasi
daerahnya, serta potensi-potensi yang ada di daerahnya daripadapemerintah
pusat. Contoh di Maluku dan Papua program beras miskin yang dicanangkanpemerintah
pusat tidak begitu efektif, hal tersebut karena sebagian penduduk disana tidak
bisa menkonsumsi beras, mereka biasa menkonsumsi sagu, maka pemeritah disana
hanyamempergunakan dana beras meskin tersebut untuk membagikan sayur, umbi, danmakanan
yang biasa dikonsumsi masyarakat. Selain itu, denga system otonomi
daerahpemerintah akan lebih cepat mengambil kebijakan-kebijakan yang dianggap
perlu saatitu, yanpa harus melewati prosedur di tingkat pusat.
Dampak
Negatif
Dampak negatif dari
otonomi daerah adalah adanya kesempatan bagioknum-oknum di pemerintah daerah
untuk melakukan tindakan yang dapat merugikaNegara dan rakyat seperti korupsi,
kolusi dan nepotisme. Selain itu terkadang adakebijakan-kebijakan daerah yang
tidak sesuai dengan konstitusi Negara yang dapatmenimbulkan pertentangan antar
daerah satu dengan daerah tetangganya, atau bahkandaerah dengan Negara, seperti
contoh pelaksanaan Undang-undang Anti Pornografi ditingkat daerah. Hal tersebut
dikarenakan dengan system otonomi daerah maka pemerintahpusat akan lebih susah
mengawasi jalannya pemerintahan di daerah, selain itu karenamemang dengan
sistem.otonomi daerah membuat peranan pemeritah pusat tidak begitu berarti.
Permasalahan yang
dihadapi dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah
Permasalahan-permasalahan mendasar yang dihadapi dalam penyelenggaraan
otonomi daerah antara lain sebagai berikut :
1. Penyelenggaraan otonomi daerah oleh pemerintah pusat
selama ini cenderung tidak di anggap sebagai amanat konstitusi, sehingga proses
desentralisasi menjadi tersumbat.
2. Kuatnya kebijakan sentralisasi membuat semakin
tingginya ketergantungan daerah-daerah kepada pusat yang nyaris mematikan
kreativitas masyarakat beserta seluruh perangkat pemerintah di daerah.
3. Adanya kesenjangan yang lebar antara daerah dan pusat
dan antar daerah sendiri dalam kepemilikan sumber daya alam, sumber daya
budaya, infrastruktur ekonomi dan tingkat kualitas sumber daya manusia.
4. Adanya kepentingan melekat pada berbagai pihak yang
menghambat penyelenggaraan otonomi daerah.
Otonomi daerah yang sarat mengandung nilai pelimpahan wewenang bukan
hanya berarti pelimpahan wewenang pengurusan sesuai dengan masyarakat setempat,
namun juga berarti bahwa adanya suatu sinergi yang erat antar organisasi atau
pemerintahn yang bersangkutan dengan lingkungan eksternalnya secara sinergis.
Penggambaran
permasalahan penyelenggaraan otonomi daerah dalam
Media
cetak
Penyelenggaraan
otonomi daerah berdasarkan UU No 22 Tahun 1999 banyak menghadapi
permasalahan.Secara
umum, permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam penyelengaraan otonomi
daerah meliputi:
(1) penataan kewenangan,
(2) penataan kelembagaan daerah,
(3) .penataan sumber daya
aparatur daerah,
(4) pengelolaan sumbersumber keuangan daerah,
(5) pengelolaan hubungan. Pemerintah
Pusat dengan
Pemerintah Daerah,
(6) pengelolaan hubungan Kepala Daerah dengan
DPRD, dan sebagainya.
Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana sudut pandang media cetak
(Harian Umum
Kompas, Riau Pas
dan Riau Mandiri),
dan mengetahui
bagaimana faktor-faktor internal dan eksternal media
dalam
mengkonstruksikan permasalahan penyelenggaraan otonomi daerah, khususnya yang
rnenyangkut:
· 1. pengelolaan keuangan daerah,
· 2. hubungan,
· 3. hubungan Kepala Daerah dengan DPRD,
· 4. dan Hubzrngan
Pemerintah Pusat
dengan Daerah, Pemerintah Provinsi dengan Kabupaten/Kota, antar Kabupaten/Kota
dan Pemerintah Daerah dengan Masyarakat.Penelitian ini menggunakan teori Berger
& Luckman tentang pembentukan realitas sosial (social reality),
teori sosiologi
media oleh Reese & Shoemaker, dan konsepsi otonomi daerah menurut Cheema
& Rondinelli, B.C. Smith dan Ryant Nugroho Dwijowijoto. Berdasarkan
pendapat para ahli tersebut maka otonomi daerah sesungguhnya merupakan realitas
atau tepatnya menjadi realitas sosial karena keberadaannya tidak lagi menjadi
milik pribadi, tetapi kemudian berubah menjadi milik masyarakat melalui proses
eksternalisasi, objektivikasi dan internalisasi. Selanjutnya, penggambaran
permasalahan penyelenggaraan otonomi daerah telah mendapat perhatian khusus
dari media massa sehingga makna yang
terbentuk
bersifat simbolis, tergantung pada siapa yang menafsirkannya. Hal ini
disebabkan karena konstruksi media dipengaruhi oleh banyak faktor balk internal
maupun eksternal,
Paradigma yang
digunakan dalam penelitian ini adalah konstruktivis, sedangkan metodenya adalah
kualitatif, dengan metode analisis framing dari William A. Gamson dan Andre
Modigliani. Adapun metode pengolahan dan analisis datanya menggunakan Metode
Norman Fairclough yang menekankan pada 3 (tiga) Ievel analisis, yakni :
1. pada
level teks (text),
2. wacana
media (media discourse practice),
3. dan
wacana sosialbudaya (sociocultural discourse practice).
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa framing media berbeda-beda (positif, proporsional, dan
negative) tergantung pada faktor-faktor yang melingkupinya. Oleh karena itu,
dapat dimengerti jika ketiga media cetak tersebut mengkonstruksi permasalahan
penyelenggaraan otonomi daerah secara berbeda-beda Harian Umum Kompas
mengkonstruksikan permasalahan penyelenggaraan otonomi daerah berdasarkan UU
No. 22 tahun 1999 secara proporsional. Yang dimaksud proporsional disini adalah
sudut pandang. Isikap yang
ditunjukkan
mengarah pada dua hal, positif dan negatif Harlan Umum Riau Pos memberikan
penilaian proporsional pada permasalahan pengelolaan keuangan daerah. Namun
demikian, Riau Pos lebih banyak memberikan penilaian negatif terhadap
permasalahan penyelenggaraan otonomi daerah, terutama pada permasalahan
hubungan kepala daerah dengan DPRD dan Hubungan Pemerintah Pusat . dengan
Daerah, antar Daerah dan Pemerintah Daerah dengan Masyarakat Daerah. Sementara
itu, Harlan Umum Riau
Mandiri
memberikan penilaian negatif pada ketiga permasalahan penyelenggaraan otonomi
daerah tersebut di atas. Bagi Riau Mandiri, penyelenggaraan otonomi daerah
masih jauh dari harapan. Konstruksi media cetak yang bersifat positif,
proporsionallnetral, dan negatif tersebut tentu tidak terjadi secara kebetulan,
tetapi pasti dipengaruhi oleh faktor-faktor baik faktor internal maupun eksternal
medialteks. Faktor internal Kompas : ideologi (amanat hati nurani rakyat),
organisasi media (koran nasional); Riau Pos : ideologi (bangun negeri bijakkan
bangsa), pekerja media (sikap wartawan mencari keberimbangan narasumber),
organisasi media (Grup Jawa Pos); dan Riau Mandiri: ideologi (kebebasansuara hati
masyarakat Riau), pekerja media (wartawan yang berusia muda dan berani). Faktor
eksternal yang mempengaruhi, Kompas: kepemilikan modal, letak geografis di
Ibukota Negara dan kedekatannya dengan pejabat Pusat; Riau Pos: kedekatan
dengan pejabat pemerintahan di Riau dan "psikologi" sebagai sebuah usaha
kelompok, dan Riau Mandiri: kepemimpinan (Basrizal Kota) dan pemanfaatan
momentum reformasi.
Dari uraian tersebut kemudian direkomendasikan hal-hat sebagai
berikut:
(1) Perlunya membangun kesadaran dan pemahaman bahwa media massa
merupakan faktor penting dalam penyelenggaraan otonomi
daerah, karena
itu instansi penyelenggara kebijakan otonomi daerah (Departemen Dalam
NegeriIDDN, Departemen Keuangan/DEPKEU, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara/MENPAN, Badan Kepegawaian Negara/BKN, Lembaga Administrasi Negara/LAN,
Pemerintah Provinsi, KabupatenfKota) hendaknya bersedia menjadikan media massa
sebagai "partner" dalam mensukseskan implementasi kebijakan otonomi
daerah,
(2) Perlunya menciptakan pemahaman bahwa penggambaran permasalahan penyelenggaraan
otonomi daerah oleh media cetak sesungguhnya tidak terjadi secara kebetulan,
tetapi merupakan hasil tarik-menarik berbagai kepentingan yang melingkupinya. Konstruksi
media massa dipengaruhi oleh berbagai faktor, balk faktor internal (ideologi
media, pekerja media, dan organisasi media), maupun eksternal (kepemilikan
modal/ownership dan kondisi sosial budaya), dan
(3) Perlunya berpikir positif
(positive thinking) terhadap segala sesuatu yang dikonstruksikan oleh media
massa, apakah konstruksi yang bersifat positif, proporsionallnetral maupun
negatif, karena semua itu dapat dijadikan bahan monitoring dan evaluasi bagi
berhasil atau tidaknya penyelenggaraan otonomi daerah.
DAFTAR PUSTAKA :
http://lontar.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=91488&lokasi=lokal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar